Tampilkan postingan dengan label Pantang Menyerah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pantang Menyerah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 16 Agustus 2011

Dahulu Kuli, sekarang menjadi Pengusaha penjual Tepung yang sukses

Jono Glepung


Menemukan mata pencaharian, memang tidak gampang. Acap terjadi, berbagai usaha dilakukan, tapi sering mengalami kegagalan.

Tapi sebaliknya, bila memang sudah rezekinya, ibaratnya apa saja yang dipegang bisa jadi uang. Seperti dialami Barjono (42). Warga Gunungan Gondowulung Pleret Bantul ini lebih kondang dipanggil Jono Glepung. Maklum, dia kini jadi juragan glepung (tepung).

Dia hanya tamat SMA. Itu pun sudah sangat bersyukur, karena keadaan ekonomi orangtuanya yang minim. Dia tak punya mimpi muluk-muluk. Lulus SMA dianggap sudah cukup dewasa. Harus sudah ikut mikul tanggung jawab mencari sandang pangan. Meski pekerjaan kasar. Jono, ketika itu kerja jadi kuli di penggilingan tepung yangko (makanan khas Kotagede).

Daripada menjadi panji klantung yang tidak memiliki jluntrung. Itu alasan utamanya. Dia bekerja di Kepuh Potorono Banguntapan Bantul. Tugas utamanya disitu sebagai tukang giling merangkap pengantar tepung ke pelanggan. Pokoknya kerja serabutan.

Memang lumayan capeknya. Semua pekerjaan dia lakukan sendiri. Apalagi waktu itu pelanggannya cukup banyak. Jam kerjanya jadi tak menentu. Banyak lemburnya. Biasa pukul 06.00 sudah ada di tempat kerja. Pulang sampai menjelang malam. Begitulah perihnya kerja sebagai kuli.

Lebih apes, gara-gara salah kelola, gilingan tempat dia berkerja bangkrut. Barjono pening memikirkan nasib. Pada alamat berikut , kisah gigih Jono Glepung berlanjut.

Kisah Sukses Pedagang Tepung yang dulunya adalah Kuli

Jono Glepung, Timbun Untung dari Tepung



Jono Glepung pernah hampir putus asa. Dulu, ketika masih berproses mencari sumber kehidupan, berbagai pekerjaan berat pernah dijalani. Ketika keliling bersepeda menjual rambak, setiap kali pulang dengan tangan hampa dan di keranjang masih penuh dagangan, sering terbesit pemikiran untuk membuang rombong beserta isinya di kali.

Untunglah, niat itu tak kesampaian. Dia tabah dalam menjalani proses berikutnya, menjadi tukang tebas melinjo. Ternyata, pilihan itu juga kurang tepat. Meski, hasilnya lumayan.

Ketika keliling cari dagang itulah, Jono menemukan perusahaan Yangko SMD Sorosutan. Tahun 1994, dia diminta kerja di sana.

Tawaran tersebut justru menggugah ingatannya. Bahwa dia punya banyak pengalaman di bisnis tepung Yangko. Maka, timbul pemikiran, mengapa tidak kembali menekuni tepung yangko?

Apalagi ketika itu dia sudah punya tabungan. Cukup untuk membeli mesin giling yangko. “Saya pikir tepung inilah dunia hidup saya. Jadi, buat apa kerja yang lainnya,” kenang Jono.

Menikahi Warsiyati tahun 1996. Kehidupannya mulai mapan. Pelanggannya tambah banyak. Baik yang minta jasa penggilingan maupun beli tepung yangko.

Para pengusaha yangko lebih suka membeli tepung jadi. Karena, proses penepungan memang rumit. Untuk mendapatkan kualitas tepung yangko yang bagus, dibutuhkan ketelatenan serta proses yang panjang. Juga,harus memperhatikan perubahan cuaca.

Cuaca cerah dan panas sangat baik untuk melakukan produksi tepung yangko.

Proses

Menurut Jono Glepung, sebelum menjadi tepung siap pakai, proses awal yang harus dikerjakan adalah menanak beras ketan. Setelah masak, beras yang sudah menjadi nasi ketan, dijemur.

Proses penjemuran harus telaten. Jangan terlalu tebal, agar cepat kering. Memakan waktu 2-3 hari. Tugas ini biasa dikerjakan oleh Warsiyati dan ibunya.

Saat menanak beras ketan ini harus melihat cuaca. Jika cuaca kurang baik, cukup 50 kilogram. Tapi kalau panas dan cuaca sangat cerah, berani menanak ketak sampai 2 kwintal.

Setelah kering, nasi ketan memasuki proses sosoh, memecah nasi ketan kering dengan menggunakan mesin penggiling tanpa saringan. Tujuannya agar kerak nasi ketan bisa terpisah satu sama lainnya menjadi seperti beras masak.

Kemudian disaring atau diinteri. Dipisahkan antara yang lembut dan yang masih kasar.

Proses selanjutnya, nasi ketan kering itu digoreng sangan atau disangrai. Diistilahkan, mbrondong, karena hasilnya seperti brondong beras. Proses mbrondong ini membutuhkan kesabaran dan waktu cukup lama. Untuk seharinya seorang hanya bisa mengerjakan paling banyak hanya 25 kilogram.

Setelah menjadi brondong, digiling dengan menggunakan saringan lembut. Membutuhkan waktu lama. Satu kwintal brondong nasi ketan kering membutuhkan waktu satu setengah jam untuk menjadi tempung yangko berkualitas.

Karena rumitnya proses pembuatan tepung yangko, harganya juga lumayan mahal, Rp. 13.000 / kg.

Untuk semua proses itu Jono dibantu beberapa tenaga kerja. Khusus untuk proses giling, biasanya mulai bekerja setelah Subuh. Setiap hari, ada 3 mesin giling beroperasi.

Menurut Jono, memang ada yang hanya melakukan proses instan dalam membuat tepung ketan. Beras hanya direndam dan kemudian ditiriskan. Setelah kering digiling. Tapi proses ini tidak baik. Yangko tidak tahan lama.

Hampir semua penguasaha yangko menjadi pelanggan Jono Glepung. Pada hari-hari biasa permintaan tepung yangko memang tidak begitu banyak. Tapi paling sedikit, per hari 2 – 3 kwintal tepung yangko.

Pasang surut usaha memang harus dilakoninya. Gempa 2006 yang meluluh lantakan wilayah Pleret juga menimpa usahanya. Pasca gempa, dia harus menata kembali bisnisnya. Jika sebelum gempa omzet perhari mencapai Rp. 8 juta. Sekarang kisaran Rp. 2 juga – 3 juta. Yang jelas, lonjakan ekonomi Jono sangat kelihatan, setelah menekuni tepung yangko. Rumah tinggalnya yang berdiri cukup megah. Sepasang gebyok kayu jati tua denan ukiran khas menghiasi bagian depan rumah. Mobil angkutan serta mobil keluarga. Tapi semua itu tetap terbungkus dengan sikap kesederhanaannya dalam pergaulannya bermasyarakat.



Senin, 04 Juli 2011

Mantan Tukang Becak Beromzet Rp 2 juta Sehari

Pantang Menyerah

Pahit getir kehidupan telah dialami Suharjo (42). Pria lulusan sekolah peternakan itu, pernah mburuh di Jakarta. Pernah pula jadi tukang becak dan kerja serabutan.

“Ternyata kerja mengandalkan ijazah, hasilnya tak seberapa,” tutur Suharjo, mengawali kisahnya. Kerja keras bertahun-tahun, tak membuatnya mengalami lonjakan kesejahteraan. Gajinya hanya cukup buat makan sehari-hari. Itu pun, dia harus bekerja ekstra keras. Ibaratnya, memeras keringat.


Kerja di Jakarta ternyata ak semanis yang dibayangkan. Demi tercukupinya kebutuhan harian, Suharjo berpetualang dari satu pabrik ke pabrik lainnya. “Upah yang saya peroleh selalu kurang. Makanya selalu mencari pabrik yang bias member upah layak. Ternyata, selama di Jakarta saya tak menemukan itu,” tambahnya.

Pengalaman kerja di Jakarta itulah yang membuatnya sadar. Tak mungkin bias menikmati hidup layak bila hanya kerja di pabrik. Maka, saat pulang ke Kulonprogo dan menikahi Tri Yuniarti, sebenarnya Suharjo tak mau lagi balik ke Ibukota. “Tapi, kami belum punya solusi. Di kampong tak ada pekerjaan. Terpaksa kami kembali lagi ke Jakarta, “kenangnya.

Lagi-lagi jadi buruh. Kerja di peternakan babi. Tapi, hasil minim. Lalu keluar, ganti haluan jadi penarik becak.

Lagi-lagi apes. Saat itu Pemprov DKI sedang ganas-ganasnya memusuhi becak. Suharjo di garuk petugas trantib.

Apes, tak selang lama, Suharjo sakit. Harus dirawat intensif. Dia diantar teman pulang ke Kulonprogo, opname. Istrinya tetap di Jakarta menghabiskan kontrak kerjanya di sebuah pabrik.

Pada alamat berikut, anda dapat melihat perubahan drastis yang secara nyata dirasakan oleh Suharjo

Bertahun-tahun Banting Tulang Ketemu Hoki di Warung Makan

Hoki di Warung Makan

Suhartjo (42), warga Janti Jantisrono Nanggulan Kulonprogo, hanya tamatan sekolah kejuruan menengah atas jurusan peternakan. Tetapi, pria ini banyak amakan asam garam kehidupan. Suami Tri Yuniati (40) ini, sukses membuka warung makan sederhana di perempatan Janti Naggulan. Omzetnya Rp. 2 juta sehari.

Penghasilan ini jauh lebih banyak dari yang pernah diperolehnya selama menjadi buruh pabrik di Jakarta.

Suharjo, memang mantan buruh pabrik. Juga buruh serabutan dan penarik becak di Jakarta. Pekerjaannya yang berpindah-pindah itu memang sengaja. Katanya, ingin mencari penghasilan lebih baik. “Ternyata, bekerja mengandalkan ijazah itu hasilnya Cuma sedikit. Tidak bisa apa-apa, kecuali hanya untuk makan,” tuturnya.


Sakit yang mengharuskannya pulan ke Kulonprogo, ternyata membawa hikmah. Meski setelah sembuh, bingung cari pekerjaan. Akhirnya dia menemukan jalan kehidupan.

Bersama istri tercinta, Suharjo membuka warung bakso. Kebetulan sekali rumahnya berada di pinggir jalan, barat penerempatan Janti. Tempat ini merupakan pemberhentian angkutan umum dari Kenteng menuju Sribit dan Girimulyo.

Pilihan berdagang ini, karena Suharjo sedikitnya terinspiranya oleh leluhurnya. “Kakek saya dulu juga membuka warung nasi. Bapak saya jualan mie. Lalu, saya mencoba jualan bakso,” katanya.

Ternyata, tak seperti yang dibayangkan. Beberapa bulan buka, warung tetap sepi. Suharjo rugi, warung baksonya gulung tikar.

Tak mau menyerah dan kehilangan harapan. Suharjo alih bidang, ganti usaha warung makan. Ternyata, warung makan lebih prospektif. Menu andalannya iwak kali. Sopir-spoir mangkal dan makan setiap hari di warungnya. Usaha warung makan Suharjo berjalan sukses.

Sebelum krismon tahun 1998, omzetnya sudah mencapai Rp. 1 juta sehari. Lalu saat dihantam krismon, menglamai penurunan “Warung saya memang sempat tutup. Bukan lantaran krismon. Tapi, masalah keluarga yang membuat saya kukut,” ungkapnya.

Tahun 2000, Suharjo susah lagi. Warung nasi yang susah payahh dibangunnya, mati. Suharjo sendiri mencoba bertahan dengan bekerja serabutan. Menjadi makelar mobil dan bisnis multi level marketing. Selama tujuh tahun, dia bekerja tak tentu target. Asal dapat uang dan tak punya obsesi.

Ketidakpastian sumber kehidupan, membuatnya sadar. Sesudah tujuh tahun lamanya, Suharjo baru kembali merintis warung makannya. Bersama istrinya bahu membahu membangun bisnis lama.

Dalam waktu relatif singkat, pelanggan lamanya berdatangan lagi. “Semua itu mungkin karena warung saya punya ciri khas iwak kali. Menu iwak kali ini banyak disukai. Berpa pun banyaknya pasti habis terjual,” kata Suharjo.

Dengan kembalinya para pelanggan lama, warung nasi Suharjo mendapatkan kejayaannya kembali. Dalam waktu setahun, Suharjo mampu membeli mobil.

Kini, Suharjo semakin optimis. Omzetnya mencapai Rp. 2 juta sehari dan cenderung meningkat. Karena itu, Suharjo kini sedang bersiap merenovasi warungnya yang mulai buka subuh hari sampai jam tiga sore itu.

Sabtu, 02 Juli 2011

Kisah Sukses Mantan TKI yang jadi Juragan Telur Puyuh

Banyak kisah TKI bernasib naas. Kalau pun tidak, TKI yang pulang kampung acapkali gagal memanfaatkan uang yang dikumpulkannya selama bekerja di luar negeri. Lalu, bingung mencari pekerjaan lagi dan selamanya hanya menjadi kuli. Padahal, menjadi kuli di negeri sendiri penghasilannya tak mungkin sama dengan di luar negeri.

Sementara itu, usia produktifnya dihabiskan di negeri rantu. Pulang sudah usia setengah tua. Sudah tak bisa punya daya tawar memilih pekerjaan. Lebih parah lagi, mantan TKI cenderung malas bekerja dengan gaji rendah. Sebab, sudah terbiasa dengan gaji besar di luar negeri.

Menyadari kemungkinan terjadinya hal buruk tersebut, mantan TKI yang merupakan pasangan suami istri, Sukisman dan Dewi, mencoba menyiapkan hari tua seawal mungkin. Keduanya sama-sama berusia 35 tahun, dan pernah menjadi Tki di Korea.

Pasangan suami istri yang mengaku saling bertemu di Jakarta itu kini sukses beternak telur puyuh. Keuntungan bersihnya mencapai Rp. 1 juta/pekan. Modal awal pun sudah kembali dalam waktu enam bulan.

Sukses itu tidak datang tanpa ujian. Tetapi diawali dengan kebangkitan total usahanya dalam beternak sapi. Akibat kebangkrutan besar itu, Dewi harus rela ditinggal pergi suaminya ke Korea. Mencari modal lagi untuk usaha.

Padahal, waktu itu Dewi yang asli Garut, Jawa Barat baru saja melahirkan anak pertamanya, Gerrad Meilano (5). Sedangkan putra keduanya, Aditya Al Majid yang kini berusia 11 bulan lahir hampir bersamaan dimulainya bisnis telur puyuh.

Dewi mengawali rumah tangganya dengan ketidakpastian sumber penghasilan. Namun, mereka kini sudah mapan. Memiliki toko pakan ternak bertingkat dua dan beternak puyuh petelur sebanyak 4 ribu ekor.

Penjualnya juga sudah ajeg. Ada pengepul dari Klaten yang setiap dua minggu sekali datang mengambil telur. Ini masih ditambah keuntungan besar bisnis burung kicau yang harganya mulai dua ratus ribu sampai jutaan rupiah.


Sukses Pasca Bangkrut

Dewi, asal Garut Jawa Barat. Berasal dari keluarga tidak mampu dan tinggal di desa. Seperti pada umumnya perempuan muda yang baru saja lulus SMA di tahun 1996, Dewi juga ingin segera bekerja. Pasalnya, sekolah di perguruan tinggi jelas tidak mungkin.

Ketiadaan biaya menjadi kendala. Alhasil, sejak tamat dari SMA, Dewi bertekad mencari pekerjaan sebisanya. Padahal, di Garut jarang ada pabrik besar. Karena itu, Dewi yang ingin mengubah nasibnya membulatkan tekad untuk merantau.

Pertama kali, bekerja di sebuah pabrik di Purwokerto. Tetapi, hanya bertahan selama dua tahun. Sesudah itu, pulang ke desa dan menganggur. Tak ingin hanya berpangku tangan, Dewi kembali bekerja. Tekadnya semakin bulat dan besar, sehingga dirinya memutuskan untuk bekerja ke luar negeri.

Setelah susah payah melamar melalui PJTKI, awal tahun 2003 bisa berangkat ke luar negeri dan bekerja di sebuah pabrik pembalut di Korea. Ketika hendak berangkat ke luar negeri itulah, dia bertemu dan berkenalan dengan Sukisman. Seorang TKI asal Selman yang juga hendak mengadu nasib di Korea.

Perkenalan itu berlanjut salama keduanya berada di negeri orang. Sehabis masa kontak kerja yang kedua, Dewi dan Sukisman pulang ke Indonesia. Waktu itu, tahun 2005. Setahun kemudian, 2006, mereka menikah, “waktu menikah itu, kami sama-sama masih menganggur,” ungkap Dewi.

Saking pusingnya tak kunjung mendapat pekerjaan, Sukisman nekad berangkat ke Korea lagi. Sedangkan Dewi tinggal di Garut bersama anak pertamanya yang waktu itu baru berusia dua minggu.

Tiga tahun lamanya Sukisman bekerja di Korea. Tahun 2009, Sukisman pulang dan keduanya sepakat membuka usaha di kampung halaman Sukisman di Pendowoharjo, Sleman. Dewi setuju.

“Tahun 2009 itu, kami sepakat beternak sapi. Tidak tanggung-tanggung, kami berdua membeli 10 ekor sapi. Tapi, semua itu gagal. Harga sapi terjun bebas dan kami rugi dua juta rupiah perekor. Itu belum termasuk kerugian tenaga dan pakan,” kenang Dwi.

Namun, kegagalan itu tak membuat mereka putus asa. Sebaliknya, terus memompa semangat suaminya untuk terus berushaa. Akhirnya melalui seorang teman, Dewi belajar beternak puyuh petelur.

Akhir tahun 2009, Dewi dan Sukisman bahu membahu membangun peternakan puyuh. Uang sisa penjualan sapi yang ruti, diinvestasikan lagi untuk beternak telur puyuh dan membuat warung pakan ternak kecil-kecilan.



“Tidak disangka, dari ternak puyuh sebanyak 4 ribu ekor, semua modal sudah kembali dalam waktu enam bulan. Omzetnya sangat tinggi,” kata Dewi.

Kini, Dewi semakin tekun memelihara telur puyuh. Sekalipun cukup sulit, hasilnya sepadan.

Memelihara puyuh petelur itu sulit, karena tergolong ternak sensitif. Mudah tertular penyakit dan stres. “Kalau mendengar suara keras yang mendadak, puyuh bisa stres. Tapi dengan kandang yang tertutup dan dibersihkan setiap hari, semua kendala itu tidak bermasalah,” jelas Dewi, seraya mengimbuhkan karena itu pula dirinya melarang orang lain untuk bisa mauk ke kandang. Selain keuntungan dari telur puyuh. Dewi juga masih memperoleh keuntungan lain dari penjualan kotoran puyuhnya. Dari 4 ribu ekor puyuh, dalam sehari menghasilkan kotoran sebanyak 3 ember. “Satu ember kotoran puyuh yang masih basah laku terjual sebesar seribu rupiah,” katanya.

Sedangkan dari puyuhnya sendiri, kadang juga masih bisa diperoleh sedikit keuntungan lagi. Setahun, sekali, puyuh yang sudah tidak produktif dijual seharga Rp. 2.500/ekor dan diganti puyuh usia 3 minggu. “Puyuh akan mulai bertelur pada usia 60 hari dan mencapai puncak produktivitasnya pada usia 10 bulan,” pungkasnya.

Kamis, 30 Juni 2011

Rahasia Sukses, Belajar dari Kesalahan Mengelola Keuangan

Pantang Menyerah

Setelah lulus SD. Marsono menyusul ibunya ke yogya. Tapi, bayangkan bisa melanjutkan sekolah dengan mulus, kandas. Kelas II SMP dia drop out. Usaha orangtuanya, jual material bangunan, kembang kempis. Dia harus keluar sekolah. Lalu terpanggil ikut kerja membantu ibunya.

Bermodal ketekunan dan kejujuran Marsono ikut membantu usaha orangtuanya. Dia cermati, mengapa usaha orangtuanya tidak berkembang. Sampai akhirnya dia tahu dimana letak kesalahannya.

Sebab utamnya pada pengelolaan keuangan. Seharusnya uang hasil usaha digunakan untuk mengembangkan dagangan agar lebih besar. Tidak lantas digunakan untuk usaha yang lain.

Usia 18 tahun, Marsono berani menikahi Imukodah. Dari perkawinannya, kini dikaruniai tiga orang anak. Anak pertamanya, sarjana farmasi yang kini punya usaha apotek di Dlingo Bantul. Sulungnya itu telah memberinya cucu.

Anak kedua kuliah di Fakultas Hukum UII. Si bungsu masih di sekolah lanjutan. Kepada tiga anaknya dikenalkan bagaimana jerih payahnya mencari uang. Ada semacam kewajiban sepulang sekolah harus ikut membantu menjaga toko.

“Saya memulai usaha dengan modal Rp.35 ribu hanya cukup untuk sewa tempat,” uangkap Marsono yang merasa beruntung didampingi oleh istrinya Imukodah dalam melakoni lara-lapa.

Saat itu, tahun 1983, situasi sangat sulit. Langkah awal yang dilakukan, membuka usaha jual material. Awal mula usaha, hanya ada pasir satu cold dan batu bata titipan sebanyak seribu buah untuk menambah modal. Marsono menyewa becak yang kemudian digunakan untuk mengangkut sampah.

Dia jadi tukang buang sampah dari beberapa juragan kaya di seputar Karangkajen dan Prawirotaman. Ketika ada sampah bongkaran rumah, batu bata yang masih bisa dimanfaatkan, dia kumpulkan. Lantas ditumbuknya menjadi semen merah. Lalu dijual.

Imukodah berperan sebagai pengayak, menyaring remukan batu bata lembut (disebut semen merah). Itu pekerjaan berat dan butuh ketelatenan. Jarang ada perempuan muda yang mau menjalani pekerjaan itu.

Permintaan bahan bangunan sangat banyak dan lancar. Di antar sendiri semua pesanan dengan becak sewaan. Melayani konsuen dengan ramah, tepat waktu dan jujur. Itulah yang menjadi prinsipnya berdagang. Pesanan material semakin besar. Di tak sanggup lagi menanganinya sendiri.

Kemudian sewa gerobak sapi sekaligus dengan kusirnya. Perlahan dan pasti, usahanya berkembang. Aliran rezeki pun semakin lancar. Dan, untuk mendukung perkembangan usaha, tahun 1984, Marsono membeli colt bekas keluaran 1974 seharga Rp. 275 ribu.

“Prinsip memanfaatkan uang dengan benar. Maksudnya uang dari hasil usaha digunakan untuk menambah modal usaha. Untuk makan sehari-hari saya melakukan kerja sampingan buang sampah itu”, kenangnya.

Berkah dari ketekunan akhirnya mengucur bagaikan curahan hujan yang membasahi bumi. Banyak proyek yang mengambil bahan material dari pangkalannya.

Modal pun samakin kuat. Lantas, dia mulai membeli tanah yang dipakainya untuk tempat usaha secara bertahap. Sampai akhirnya tanah seluas 6 ribu meter persegi tuntas terbeli. Di tempat itulah kini menjadi lokasi bisnis Marsono bernama UD Ika Sari.

Ada dua bangunan yang besar dan megah di lokasi itu. Sebelah barat bangunan lantai dua dijadikan tempat tinggalnya. Sebelah timur bangunan yang luas, bagian depan dijadikan tOko, bengkel las dan pertukangan kayu.

Pun di sisa lahan yang begitu luas, tumpukan material pasir cukup tinggi menggunung. Bongkahan batu kali pun demikian.

Selain itu, di pekarangan belakangan digunakan untuk pabrik batako, paving dan loster. Untuk mengantar pesanan material ke konsumen sudah ada 10 armada colt dan 2 armada truk miliknya yang siap melayani pembeli.

Marsono benar-benar fokus pada usahanya. Segala macam bahan yang berkaitan dengan bangunan semua lengkap tersedia di tokonya. Kegiatan lainnya (las, pertukangan kayu dan pembuatan batako, paving, loster) semata untuk mendukung usaha barunya di dunia properti.

Sudah puluhan unit rumbah dibangunnya dengan harga lebih dari Rp. 300 juta per unit. Diapun mendulang penghasilan fantastis dari usahanya itu. Omzet perharinya kisaran Rp. 20 juta.

Meski demikian, semua itu tidak lantas membuat Marsono takabur. Dia tetap sebagaimana adanya. Sifatnya yang sederhana, dan tidak neko-neko. Dengan kelebihan harta yang dimilikinya dia pun tidak melupakan perjuangannya.

Sehingga secara tertib dia selalu menyisihkan keuntungan untuk sedekah, zakat dan membantu sesama yang membutuhkan pertolongan. Ini kedermawanan yang ketika kecil dulu, tak pernah terbayangkan.

“Semua ini wajib disyukuri. Bisa membantu banyak orang, setidaknya saya memiliki manfaat buat orang lain. Terlebih bagi keluarga,” tukasnya mengakhiri kisahnya pada Kedaulatan Rakyat.

Sekelumit kisah Tukang Sampah yang sukses menjadi Miliarder

Tak harus berpendidikan tinggi dan punya modal besar. Asal punya niat dan mau kerja keras, siapa saja punya hak meraih kesuksesan materi. HM Marsono (48), contohnya. Pebisnis bahan bangunan dan property ini, dulu bekerja sebagai tukang sampah. Masa kecilnya sarat penderitaan.

Sejak uur satu setengah tahun, Marsono keci sudah berpisah dengan ibu kandungnya. Orangtuanya cerai, ayahnya kawin lagi. Ibutnya merantau ke Yogya. Marsono ikut sang nenek tinggal di Boyolali. Dia memanggil neneknya itu dengna panggilan simbok. Usia 7 tahun, Marsono bias melihat wajah ibu kandungnya. Itu pun atas kebaikan hati pamannya, setelah dirinya merengek minta diajak pergi ke Yogya.

Masa kecil Marsono tidak memiliki keceriaan sebagaimana layaknya anak-anak seusianya. Untuk biaya sekolah harus bekerja mencari ramban (hjauan) pakan sapi di lereng Gunung Merbabu. Neneknya orang susah. Untuk makan sehari saja harus bekerja mencari ranting pohon dan kayu bakar di hutan lantas dijual. Makan nasi putih bagi Marsono kecil merupakan kenikmatan luar biasa. Sebab setiap hari dia selalu makan bulgur. Pun hanya satu kali sehari. Pagi mengenal yang namanya sarapan. Hanya sepotong singkong rebus yang dibawanya sebagai bekal mencari rumput di hutan.

Siangnya sepulang merumput, dia sekolah di SD Mrawon Gladaksari Ampel Boyolali. Dengan seragam sekedarnya tanpa sepatu. Marsono menapaki langkah pergi ke sekolah tanpa tahu kelak ingin menjadi apa. Dia tak memiliki cita-cita.

Lulus SD tahun 1977, Marsono bertekad ikut ibu kandungnya di Yogya. Harapamnya, dia bisa melanjutkan sekolah. Namun kenyataan berbicara lain. Sampai akhirnya Marsono harus rela hanya bisa sampai kelas II SMP dan drop out. Lalu dia sewa becak untuk mengangkut sampah rumah-rumah orang kaya seputaran Karangkajen, dibuang ke tempat sampah.

Tunggu tidak hanya sampai disitu. Pada alamat berikut ini anda bisa melihat perubahan cucuran keringan marsono yang mengalir sampai cucuran tesebut membawa dia mengalami perubahan nasibnya menjadi seorang Miliarder.

Kisah suksesnya Buta Aksara karena Berdagang Kayu

Pantang Menyerah

Masih banyak yang percaya, kesuksesan seseorang salah satunya diukur dari tingkat pendidikan. Tapi, tak selamanya rumis itu berlaku. Tak sedikit yang punya latar belakang pendidikan tinggi, masih berpredikat pengangguran.

Sebaliknya, tak sedikit pula yang berpendidikan rendah, justru meraih kesuksesan. Bahkan Salimin (51), warga padukuhan Jamus Pengasih Kulonprogo, meski buta aksara, kini sukses berdagang kayu. Omzetnya kisaran Rp. 30 juta/bulan. Eoknya, Salimin bukan dari keluarga mampu. Dia anak pedagang buah sawo yang penghasilannya tak cukup untuk menghidupi Salimin dan tiga saudaranya. Keterbelakangan ekonomi membuat orangtua Salimin tak menyekolahkan anaknya. Hanya sempat mengenyam pendidikan kelas I SD. Belum bias membaca dan menulis. Yang dia kuasai hanya angka dan rumus berhitung yang sederhana. “Orangtua saya tidak mampu. Pekerjaannya sebagai pedagang buah sawo tidak mencukupi kebutuhan empat orang anaknya. Lalu, saya disuruh keluar dari sekolahd an bekerja,” kenang Salimin.

Meskipun nasib waktu itu tidak berpihak, Salimin tidak mengeluh. Dia setia membantu ibunya di pasar berjualan sawo. Setiap pagi, Salimin memanggul buah sawo ke pasar. “Waktu itu, saya Cuma diberi upah jajan pasar. Namanya juga masih kecil. Dibelikan makanan saja sudah senang. Tapi, lama-lama saya berpikir. Tidak mungkin nasib membaik kalau hanya membantu ibu, ujarnya.

Salimin lalu mencoba mandiri dengan berjualan sendiri. Supaya tidak bersaing dengan ibunya, dia berjualan kelapa. Selama beberapa tahun, Salimin berjualan kelapa di Pasar Wates. Setiap pagi jalan kaki naik turun gunung. “Maklum, waktu itu angkutan umum belum ada. Oran gpunya sepeda onthel juga masih bisa dihitung dengan jari,” cetusnya.

Setelah dihitung-hitung, ternyata jualan kelapa tidak mendatangkan keuntungan yang layak. Salimin pun alih profesi dengen berjualan layang-layang.

Pada alamat berikut, anda bisa menyimak perjuangan Salimin dengan bermodalkan Rp. 50 ribu. Dia mampu mengembangkan bisnisnya menjadi binis yang beromzet puluhan juta rupiah.

Dulu memanggul Kayu Keliling Wates, kini sebulan mampu meraup Puluhan Juta

Pantang Menyerah

Inilah sambungan kisah Salimin yang drop out kelas 1 SD, kini jadi juragan kayu yang boleh dibilang sukses. Raihan sukses itu, ternyata membutuhkan perjalanan panjang. Banyak tantangan harus dilalui.

Seiring bertambahnya usia, Salimin mulai bisa menimbang. Berjualan kelapa, layang-layang dan mengharapkan ada sisa kayu, tidak mungkin memberi kehidupan layak. Sementara itu, Salimin tidak punya ijazah. Apa yang bisa dilakukan hanya bekerja kasar sebagai buruh serabutan.

Dia terus berjuang sendiri. Pada usia sekitar 17-an tahun, Salimin bekerja sebagai kuli gergaji kayu di Wates. Dari pengalamannya bekerja sebagai kuli gergaji kayu itu, Salimin mulai mendapat inspirasi menjadi pengusaha kayu.

Tahun 1986, Salimin memberanikan diri untuk berjualan kayu glugu. Mulanya, hanya coba-coba. Setelah dilakoni dan ternyata keuntungannya hampir 50%, dia mantap berbisnis kayu. “Waktu itu, saya pinjam uang lima puluh ribu sebagai modal pertama,” katanya.

Dengan modal mepet itu, Salimin hanya berjualan kayu glugu dan kayu untuk kerangka rumah. Waktu itu, Salimin memanggul sendiri kayu-kayu jualannya ke kota Wates yang jaraknya sangat jauh. Angkutan barang masih jarang. Kalau pun ada, Salimin belum mampu membayar ongkosnya.

Seperti halnya usaha baru yang lain, jualan kayu glugu yang dilakoni Salimin tidak serta merta laris manis. Demi mendapatkan hasil, dia harus memanggul sebongkok glugu untuk ditawarkan keliling dari kampung ke kampung.

Jerih payahnya itu baru terasa hasilnya ketika menginjak tahun 1990-an. Order glugu meningkat. Momen tersebut dimanfaatkannya untuk mengembangkan usahanya dengan membuat blandar, kusen pintu dan jendela.

Enam tahun kemudian, usaha Salimin menemukan madunya. Relasi bisnis yang terbangun sejak jualan keliling dengan memanggul sebongkok glugu, sering memesan kayu ke rumahnya. Tidak terasa, dagangan kayunya laris manis. “Tahun 1996, saya harus menambah 2 karyawan karena pekerjaan yang semakin banyak,” katanya.

Seiring berkembangnya bisnis, karyawan yang direkrut pun terus bertambah. Kini, dia memiliki tenaga kerja penebang pohon sebanyak enam orang. Dalam sehari, Slaimin harus mencari sekurangnya 5 batang pohon untuk ditebang.

Dalam satu hari itu pula, Salimin harus mengeluarkan uang Rp. 5 juta untuk membeli lima batang pohon. Bahkan, lebih. Tergantung ukuran dan jenis kayu.

Sementara itu, untuk lebih mempercepat perputaran uang. Salimin melebarkan sayap dengan membuat almari, buffet, kursi dan barang-barang mebel lainnya. Tidak terasa, kini Salimin menjadi juragan kayu. Semua peralatan milik sendiri. Mulai dari gergaji mesin dan truk pengangkut.

Uniknya, Salimin tidak pernah mencatat berapa persis penghasilannya. Selama ini, dia hanya memutar uang.

Seluruh kebutuhan empat orang anaknya tercukupi. Setiap bulan, Salimin hanya tahu ada uang sekitar Rp. 20-an juta. Menurutnya, itu hasil jualan kayu. Sedangkan hartanya, tersimpan dalam bentuk tanah yang berada di desa Jamus dan Giripeni. Dua bidang tanah kosong miliknya itu seluas 500-an meter persegi. Sementara itu, Salimin juga menyewa sebidang tanah seluas 500-an meter di pinggir jalan desa jamus untuk membuka usaha penggergajian kayu.

Diakuinya, tidak pernah ada kendala terkait dirinya yang butu huruf. Baginya, selama bisa berhitung dan membaca angka, sudah cukup. Sedangkan untuk belajar membaca dan menulis huruf, Salimin mengaku sudah terlanjur malas. “Toh, dengan begini saja, saya mampu menghidupi keluarga,” akunya.

Terkait kendala bisnis, Salimin mengaku relatif tidak pernah menemui kendala berarti. Diakuinya memang ada beberapa orang yang memesan kayu tidak membayar. Jumlahnya jutaan rupiah. “Itu biasa, diiklaskan saja malah bisa menambah rezeki,” pungkasnya.

Senin, 27 Juni 2011

Kisah Pemulung yang berhasil menjadi Pengusaha Sukses

Sukses binis roti

Kehidupat ibarat roda. Yang di bawah suatu saat bisa naik ke Puncak. Begitulah kira-kira yang dialami pasangan Ngatijan Kismo Utomo dan Sukinah, pengusaha roti dan cake dari Pandak Bantul. Sebelum sukses berbisnis roti, mereka adalah pencari barang-barang rongsok, pemulung. Pekerjaan yang barangkali oleh sebagian orang dianggap hina.

Kegigihan menjadikan kehidupan keluarga itu kini mapan. Tujuh anaknya sudah punya mobil dan tanah. Semuanya berkat kerja keras orang tua. Padahal, dulu kondisi ekonomi keluarga ini cukup memprihatinkan. Keduanya harus bekerja keras. Jadi loper Koran, tukang becak, sopir dan pemulung. Maklum, mereka dikaruniai 7 anak. Biaya hidup serta kebutuhan lainnya jelas sangat besar. Maka, keduanya harus bekerja.

Mereka menjalani kerasnya kehidupan dengan ketabahan. Perjalanan nasib dilakoninya dengna penuh keikhlasan. Bahkan pengalaman hidup yang paling pahit pun pernah dilakoni mereka pada tahun 1977. Dituduh nyolong sepeda. Karena tetangganya ada yang kehilangan sepeda, tudingan maling pun diarahkan ke Ngatijan.

Akibatnya dia harus merikuk di dalam sel tahanan Polsek Pandak selama 13 hari. Tudingan tersebut didasari alasan, sepeda butut yang ibasa digunakan Sukinah mencari barang-barang rongsok, tiba-tiba stang, porokdansedelnya berubah baru. Hal itu menimbulkan kecurigaan tetangga yang langsung melaporkannya ke polisi.

“Saya dipaksa mengaku. Tapi karena tidak berbuat, ya saya tetap tidak mau. Yang namanya orang susah itu memang harus memiliki kesabarandan keikhlasan. Tapi kebenaran pasti datang, itu yang selalu menjadi keyakinan saya,” papar Ngatijan yang banyak tetangganya acap menyapa dengan panggilan Pak Utomo.

Berlanjut selengkapnya pada alamat berikut

Keluarga Pemulung yang mampu meraih kesuksesannya dengan Kejujuran

Pasti meraih manisnya hidup

Semula yang menjalani sebagai tukang rosok adalah Sukinah, istri Ngaatijan Kismo Utomo. Karena penghasilan tukang rosok lebih banyak, Utomo, panggilan Ngatijan, mengikuti jejak sang istri. Mereka membeli sepda dari uang tabungan. Sehari-hari keduanya runtang-runtung cari rosok. Blusukan dari kampung ke kampung.

Istrinya, Pak Utomo menjadi sopir yang jarang sekali pulang. “Saya sering membeli karung bekas pakan ayam dipeternakan ayam petelur. Selain membeli karung, beli telur bucekan (pecah) yang langsung saya setorkan ke pengusaha roti bolu,” kenang Sukinah.

Ketika krisis moneter tahun 1997, perusahaan kue bolu itu bangkrut. Oleh pemiliknya kemudian peralatan pembuat roti berikut semua karyawan yang ada ditawarkan kepada Sukinah.

“Saya tidak sanggup kalau harus menanggung karyawan. Tapi kalau boleh mengambil peralatannya saja saya mau. Akhirnya peralatan boleh diambil dengan harga yang disepakati,” papar Sukinah yang tidak sempat menuntaskan sekolahnya di SPG Wirobrajan. Sedangkan Ngatijan Kismo Utomo bahkan tak tamat SD.


Resep Khusus

Semula hanya membuat roti bolu kecil-kecil yang disetorkan ke pasaran. Waktu itu yang mengerjakan anak sulungnya bernama Sinung, nama itu kemudian dipakai untuk lebel dagangnya sampai sekarang.

Ketika ada seorang guru memesan roti gulung sebanyak 5 kardus, order itu dikerjakan. Mungkin karena cocok rasanya, pemesan roti gulung semakin banyak. AKhirnya, dari mulut ke mulut kabar roti gulung Mbak Sinung banyak dikenal.

“Terus terang, kita tidak punya modal kuat ketika itu. Lalau saa bilang sama pedagang bahan roti, bagaimaan kalau saya minta bahan dulu. Setelah pesanan roti dibayar baru saya unasi. Karena berbekal kepercayaan dan kejujuran, sampai sekarang kerja sama itu masih berlangsung. Bahkan permintaan bahan berapa pun jumlahnya, dia siap melayani,” ungkap Utomo yang dibenarkan sang istri.

Pasangan suami istri yang memiliki 7 anak dan sudah mempunyai 8 cucu ini, tidak pernah megnecewakan pelanggannya. Pelayanan terhadap pelanggan pasti memuaskan. Tidak heran kalau jangkauan jelajah pasaran rotinya yang hanya dari mulut ke mulut itu sampai ke luar daerah, seperti Surakarta, Purworejo, Muntilan, Magelang.

Hebatnya, untuk biaya antara sampai ke alaman pemesan kalau masih dalam kota berapapun pesanannya, tidak dikutip ongkos kirim. Kalau sudah sampai luar daerah biasa ada ongkos kirim yang tidak memberatkan konsumen.

Soal resep, tidak ada yang dirahasiakan. Semua karyawannya diberi tahu resepnya. Saat ini, ada 12 karyawan tetap. Perhari minimal melayani 12 dus. Bila musim hajatan, jumlah pesanan membengkak. Maka, harus menambah karyawan freelance. Para karyawannya itu diberitahu resep pembuatan kue. Bahkan jika ada yang ingin lepas dan mandiri buka usaha, dipersilahkan.


Utomo mengungkapkan, usahanya tak selalu mulus. Beberapa kali dikelabui pemesan. Barang sudah diantar, tapi belum dibayar. Jika ditotal, pesanaan yang digabur mencapai jutaan rupiah. Tapi ini tidak membuatnya jera. Dia menyadari, dulu tidak bisa menikmati manisnya hidup sebagai pengusaha sukses yang sudah berhasil mengentaskan anak-anaknya dengan melimpahkan materi.

Bahkan beberapa mobil mewah diparkir di halaman rumahnya. Semua itu tidak mengubah sikap dan sifat kesahajaannya sebagai orang desa.

Minggu, 26 Juni 2011

Potret Ketekunan Pemintal Ijuk

Biasa kerja

Matahari pagi tiu terlihat sangat cerah. Mbah Karto Pawiro (90) memulai aktivitas hariannya dengan mengeluarkan lembaran-lembaran ijuk. Lalu ditumpuk di atas bale-bale kecil. Ijuk, serabut berwarna hitam seperti rambut, tumbuh di pangkal pelepah pokok pohon arena tau enau yang bahasa latinnya arenga pinnate. Dengan duduk selonjor di atas bale-bale, tangan terampil Mbah Karto Pawiro yang puna nama kecil Muserat memintal lembaran ijuk menjadi tali.

Proses pemintalannya sangat sederhana. Memilih-milih lembaran ijuk dengan menggunakan sekerat bilahan bamboo. Tapi biarpun begitu, tetap membutuhkan keterampilan khusus yang tidak setiap orang mampu melakukannya.

Pekerjaan langkat tersebut membutuhkan kesabaran. Mbah Karto sudah melakoninya sejak berusia 15 tahun. Ketika itu dia hanya membantu orangtuanya. Setelah menikahi Partiah di tahun 1951, ketika itu dia berumur 27 tahun, lantas hidup mandiri dengan menjadi pengrajin tali ijuk sampai sekarang.

Kulo mboten sekolah. Dados sagete naming kados niki (saya tidak sekolah. Jadi bisanya bekerja seperti ini),” pengakuan Mbah Karto Pawiro yang semasa mudanya pernah ikut memanggul senjata naik turun gunung selama 10 hari gerilya di sekitar Gunung Suh Godean. Dia tidak meneruskan menjadi tentara ketika itu, karena orang tua tidak mengizinkan. Orangtuanya takut kehilangan dirinya, selain itu dia juga tidak sekolah.

Rumiyen njih nate manggen ten Suryawijayan. Nang omah kula dipun obong Landa.Amargi kula gerilya. (Dulu saya pernah tinggal di Suryawijayan. Tapi rumah saya dibakar Belanda, karena saya seorang gerilyawan),” ceritanya sambil memainkan tangan memilin ijuk.

Buah perkawinannya dengan Partiah memiliki 5 anak, 2 laki-laki dan 3 perempuan yang kemudian memberinya 13 cucu dan 2 orang buyut. Semua anaknya sudah hidup mandiri. Anak pertamnya menjadi kepala sekolah di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ada juga yang jadi pengusaha penggilingan padi.

Meskipun usianya sudah uzur, Mbah Karto Prawiro masih tampak sehat dan cekatan dalam memintal ijuk. Seharinya dia bisa menyelesaikan 15 sampai 20 ikat tali yang jika dijual perikatnya memiliki kisaran Rp. 3.000.

Tali ijuk buatan Mbah Karto Pawiro banyak diminati. Pelanggan biasanya datang sendiri dari Wates, Klaten, dan Purworejo. Ciri khas tali ijuk buatan kakek yang tinggal di Bendosari Sumbersari Moyudan Sleman ini memiliki pilihan yang halus dan kuat, sehingga bila digunakan untuk ngragum (mengikat) tidak mudah pudar dan awet. Dulu selagi tenaganya masih uat, dia menjual tali ijuk di Pasar Semampir Sedayu, sekarang hanya di rumah.

Soal bahan baku, sekarang sulit mencari Kalau pun ada, harganya mahal, Harga per lembar serat ijuk di pohon Rp. 3.000. Setelah di pasar menjadi Rp. 7.000/kg. Pasca gempa, karena banyal orang membutuhkan, harganya terus meroket. Apalagi sekarang banyak orang asing yang membuat rumah dengan menggunakan ijuk sebagai atapnya, harganya menjadi semakin mahal.

Dulu sewaktu masih muda, dia mencari bahan baku ijuk sampai Ambarawa, Jambu, Temanggung, Wonosobo, Parakan dan Gedono hanya dengan menggunakan sepeda. Berangkat sekitar pukul 04.00 dengan mengambil jalan pintas menuju Tempel. Jika hujan, jalannya becek dan lici. Setelah menyeberangi sungai Krasak sampai Muntilan, dia istirahat.

Lalu setelah itu melanjutkan perjalanan menuju Secang. Di sini pun istirahat sebentar, untuk selanjutnya meneruskan laku sesuai dengan daerah mana yang akan dituju. Proses hunting ijuk bisa berhari-hari tinggal di dalam hutan. Mengambil ijuk dari pokoknya, lantas mengumpulkannya. Setelah dirasa cukup banyak baru pulang.

Bisa tahu kalau daerah-daerah itu banyak pohon aren, diperoleh ketika ikut gerilya keluar masuk hutan semasa perang kemerdekaan 1946. “Ten alas niku njih tumbas, mas. Mboten kok mung mendhet (mengambil ijuk di dalam hutan itu membeli. Bukan Cuma hanya ambil),” tuturnya.

Menurut dia, hutan pada saat itu dikuasi oleh kelompok-kelompok orang. Setiap yang akan mengambil apa saja dari hutan, harus membayar kepada kelompok itu demi keamanan. Mbah Karto mengaku, tidak berani sembarangan mengambil hasil hutan. Ada yang lebih gawat lagi, berani coba-coba mencuri bakalan berabe. Bisa kesambet atau kena teluh Perut bisa melendhung betulan. “Ning kula maan, mas ten riku. Mboten wonten sing wani ngganggu. Pit mawon mboten ical (Di situ saya aman mas. Tidak ada yang berani ganggu. Sepeda ditinggal berhari-hari di sana tidak hilang),” kenang-nya.

Ada pengalaman yang tidak terlupakan selama hidup Mbak Karto Pawiro, sewaktu pulang dari Ambarawa. Sebelum memasuki Secang, karet rem ban sepedanya habis. Karena jalannya menurun, rem blong. Tanpa pikir panjang dia loncat dari sepeda yang sarat muatan ijuk. Sepeda terjungkal menabrak bug (jembatan kecil). Pulangnya terpaksa cari tumpangan truk. Dan harus jalan kaki dari Tempel sampai Moyudan. “Damel duk, saderma nyambung gesang Mas. Nak-anak pun sami mapan Mas,” begitu akunya menutup obrolannya.