Kamis, 30 Juni 2011

Dulu memanggul Kayu Keliling Wates, kini sebulan mampu meraup Puluhan Juta

Pantang Menyerah

Inilah sambungan kisah Salimin yang drop out kelas 1 SD, kini jadi juragan kayu yang boleh dibilang sukses. Raihan sukses itu, ternyata membutuhkan perjalanan panjang. Banyak tantangan harus dilalui.

Seiring bertambahnya usia, Salimin mulai bisa menimbang. Berjualan kelapa, layang-layang dan mengharapkan ada sisa kayu, tidak mungkin memberi kehidupan layak. Sementara itu, Salimin tidak punya ijazah. Apa yang bisa dilakukan hanya bekerja kasar sebagai buruh serabutan.

Dia terus berjuang sendiri. Pada usia sekitar 17-an tahun, Salimin bekerja sebagai kuli gergaji kayu di Wates. Dari pengalamannya bekerja sebagai kuli gergaji kayu itu, Salimin mulai mendapat inspirasi menjadi pengusaha kayu.

Tahun 1986, Salimin memberanikan diri untuk berjualan kayu glugu. Mulanya, hanya coba-coba. Setelah dilakoni dan ternyata keuntungannya hampir 50%, dia mantap berbisnis kayu. “Waktu itu, saya pinjam uang lima puluh ribu sebagai modal pertama,” katanya.

Dengan modal mepet itu, Salimin hanya berjualan kayu glugu dan kayu untuk kerangka rumah. Waktu itu, Salimin memanggul sendiri kayu-kayu jualannya ke kota Wates yang jaraknya sangat jauh. Angkutan barang masih jarang. Kalau pun ada, Salimin belum mampu membayar ongkosnya.

Seperti halnya usaha baru yang lain, jualan kayu glugu yang dilakoni Salimin tidak serta merta laris manis. Demi mendapatkan hasil, dia harus memanggul sebongkok glugu untuk ditawarkan keliling dari kampung ke kampung.

Jerih payahnya itu baru terasa hasilnya ketika menginjak tahun 1990-an. Order glugu meningkat. Momen tersebut dimanfaatkannya untuk mengembangkan usahanya dengan membuat blandar, kusen pintu dan jendela.

Enam tahun kemudian, usaha Salimin menemukan madunya. Relasi bisnis yang terbangun sejak jualan keliling dengan memanggul sebongkok glugu, sering memesan kayu ke rumahnya. Tidak terasa, dagangan kayunya laris manis. “Tahun 1996, saya harus menambah 2 karyawan karena pekerjaan yang semakin banyak,” katanya.

Seiring berkembangnya bisnis, karyawan yang direkrut pun terus bertambah. Kini, dia memiliki tenaga kerja penebang pohon sebanyak enam orang. Dalam sehari, Slaimin harus mencari sekurangnya 5 batang pohon untuk ditebang.

Dalam satu hari itu pula, Salimin harus mengeluarkan uang Rp. 5 juta untuk membeli lima batang pohon. Bahkan, lebih. Tergantung ukuran dan jenis kayu.

Sementara itu, untuk lebih mempercepat perputaran uang. Salimin melebarkan sayap dengan membuat almari, buffet, kursi dan barang-barang mebel lainnya. Tidak terasa, kini Salimin menjadi juragan kayu. Semua peralatan milik sendiri. Mulai dari gergaji mesin dan truk pengangkut.

Uniknya, Salimin tidak pernah mencatat berapa persis penghasilannya. Selama ini, dia hanya memutar uang.

Seluruh kebutuhan empat orang anaknya tercukupi. Setiap bulan, Salimin hanya tahu ada uang sekitar Rp. 20-an juta. Menurutnya, itu hasil jualan kayu. Sedangkan hartanya, tersimpan dalam bentuk tanah yang berada di desa Jamus dan Giripeni. Dua bidang tanah kosong miliknya itu seluas 500-an meter persegi. Sementara itu, Salimin juga menyewa sebidang tanah seluas 500-an meter di pinggir jalan desa jamus untuk membuka usaha penggergajian kayu.

Diakuinya, tidak pernah ada kendala terkait dirinya yang butu huruf. Baginya, selama bisa berhitung dan membaca angka, sudah cukup. Sedangkan untuk belajar membaca dan menulis huruf, Salimin mengaku sudah terlanjur malas. “Toh, dengan begini saja, saya mampu menghidupi keluarga,” akunya.

Terkait kendala bisnis, Salimin mengaku relatif tidak pernah menemui kendala berarti. Diakuinya memang ada beberapa orang yang memesan kayu tidak membayar. Jumlahnya jutaan rupiah. “Itu biasa, diiklaskan saja malah bisa menambah rezeki,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar