Sabtu, 02 Juli 2011

Hakim PN Jakarta yang telah membebaskan 39 koruptor

Kontroversi memang


Setelah membebaskan terdakwa Gubernur Bengkulu non aktif Agusrin Najamuddin, lalu disusur keputusan bebas untuk Koesprawoto, R Heru Suyanto dan Eddy Sarwono, siapa lagi yang tercatat menanam kerugian bagi negara? Semuanya berjumlah 39 koruptor yang notabene, bila dana yang dikorup dijumlahkan,d apat untuk membangun sebuah kota modern. Dari para koruptor, berapa rupiah “disumbangkan” kepada hakim Syarifudin, SH sebagai “balas jasa” atau “ucapan terimakasih”. Kasus inilah yang meresahkan masyarakat hukum di Indonesia.


Masih belum terungkap, siapa saja yang telah dibebaskan dengan alasan,” Kalau mereka tidak terbukti bersalah, mengapa harus dihukum?”, kilah Syarifudin melalui layar kaca beberapa waktu lalu. Ternyata, masih ada yang terungkap. DI antaranya, Wakil Bupati Tana Toraja (1999 – 2004) dalam kasus korupsi dana APBD dengan kerugian sebesar Rp. 650 juta, yang semula dituntut 6 tahun pidana penjara kemudian diputus bebas.


Berikutnya, pembebasan terdakwa kasus kredit fiktif di BNI senilai Rp. 27 miliar, Tajang dan Basri Adbah (Direktur PT A Tiga). Tuntutan 2 tahun perjara terhadap Damayanto Sutejo (mantan Direktur Pemasaran PTPN XIV) untuk kasus korupsi pengadaan 12 ribu ton pupuk, juga ditolak majelis hakim termasuk Syarifuddin Umar. Selanjutnya, giliran bekas teller Bank BRI Sombaopu, Darmawan Darabba dibebaskan dari’tuntutan 5 tahun penjara. Masih dalam tahun yang sama, Hakim Syarifuddin juga membebaskan 28 mantan anggota DPRD Kabupaten Luwu periode 1999 – 2004 dari tuntutan 2 tahun untuk korupsi senilai Rp. 1,5 miliar.


Hukum memang tidak eksak, tetapi para hakim layak menggunakan nurani yang dikombinasikan dengan logika. Kalau korupsi Rp. 650 juta saja dituntut 6 tahun penjara, mengapa yang menelan uang rakyat Rp. 1,5 milyar malah dituntut Cuma 2 tahun penjara, walau kedua tuntutan akhirnya batal alias tersangka bebas.

Penyimpangan yang dilakukan oleh Syarifudin jelas, melawan sumpah. Padahal, sumpah sama artinya dengan janji kepada Allah. Dengan kata lain, penjabat tinggi pun bisa tidak Pancasilais. Padahal, pemerintah mempercayainya untuk menduduki jabatan dan predikat terhormat.

Syarifudin pernah diangkat sebagai Mahkaman Agung sebagai hakim karir pengadilan tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor) berdasarkan SK No: 041/KMA/-K/III/2009 tertanggal 18 Maret 2009. Namun karena mendapatkan kritik dari sejumlah kalangan (media, akademisi, praktisi hukum, dan LSM) akhirnya SK pengangkatan Syarifuddin Umar tersebut dibatalkan.

Dari pembatalan predikat tersebut, sebenarnya lembaga hukum mewaspadai sepak terjangnya. Apalagi dalam debutnya sebagai hakim ia telah membebaskan sedikitnya 39 terdakwa kasus korupsi selama berdinas di pengadilan negeri Ujung Pandang dan Jakarta Pusat. Terdakwa Kasus korupsi terakhir yang dibebaskan adalah Agusrin Najamuddin (Gubernur Bengkulu nonaktif).

Bahkan ia pernah dilaporkan ke Komisi Yudisial terkait vonis bebas kasus korupsi dan dugaan suap dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan mantan anggota DPRD Luwu Sulawesi Selatan yang akhirnya tidak jelas perkembangannya.

Pengawasan tugasnya semakin diperketat, termasuk mendapatkan pemantauan dari Komisi Yudisial ketika memimpin persidangan kasus korupsi yang melibatkan Agusrin Najamuddin (Gubernur Bengkulu nonaktif). Diduga ada indikasi suap dalam penanganan kasus tersebut. Agusrin akhirnya divonis bebas oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Syarifuddin Umar. Lantas, bagaimana dengan hakim anggota dalam persidangan itu, apakah tidak terlibat?

Jelas, tindak tanduk hakim Syarifudin bersifat kontroversial dengan jabatan dan sumpahnya. Kalau sudah begitu dan terbukti kesalahannya, bagaimana dengan perhitungan hukumnya? KPK dituntut untuk lebih adil dibanding pengadilan.

Syarifudin dongkol dijuluki hakim “pembebas koruptor”. Ia pun melontarkan retorik, “Apakah salah kalau saya sebagai hakim membebaskan”. Artinya, putusan ngawur pun tak boleh diprotes karena yang memutuskan hakim?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar