Sabtu, 02 Juli 2011

Kisah Nikah Siri yang Bermotif Ekonomi

Jika merujuk pada legal formal, nikah siri memang bertentangan dengan undang-undang. Tapi faktanya, tak sedikit pasangan memilih menikah secara siri dengan berbagai alasan.

Sebut saja Ulfa (19), gadis manis mahasiswi sebuah PTS terkemuka di Yogya utara ini naanya sudah disamarkan. Mengaku menjalani nikah siri sudah 2 tahun tepatnya, sejak lulus SMA.


Keinginan melanjutkan kuliah, menjadi alasan penting ketika menikah siri dengan duda beranak 3. Salah satu anak suami sirinya itu sebaya dengan Ulfa. Pertimbangan biaya kuliah menjadikannya mau dinikahi di bawah tangan. Dia berkisah, almarhum ayahnya dulu hanyalah seorang karyawan Swasta. Tak meninggalkan uang pensiunan. Dia anak sulung dari 4 bersaudara. Ibunya yang membuka warung makan kecil di Banjarnegara. Hasilnya tak mampu memenuhi semua kebutuhan. Apalagi bila harus mengkuliahkan Ulfa.

Makanya, dia rela dinikasi secara siri oleh seorang pengusaha yang berstatus duda. Semua dilakoninya demi mewujudkan keinginan untuk dapat melanjutkan kuliah, meraih asa. Menjadi sarjana ekonomi yang merupakan cita-citanya sejak kecil.

Sekarang, Ulfa tinggal di rumah kontrakan di bilangan Babarsari. Setiap sabtu ‘suami’nya selalu bertandang plus memberikan segala kebutuhan hidupnya selama seminggu ke depan.

Lain Ulfa, beda pula dengan Ariek (23) yang tinggal seatap dengan Joko (25). Tentunya nama itu sudah direka. Sepasang sejoli ini mengaku melakukan nikah siri semata untuk menyelamatkan diri agar tidak berbuat zina. Pernikahan siri itu dilakukan dengan sepengetahuan orang tua mereka.

“Kalau sekedar tunangan, itu belum sah. Aku takut terjerumus zina. Daripada tidak kuat nahan, ya nikah siri saja, secara agama itu diperbolehkan,” ungkap Ariek yang masih berstatus mahasiswa salah satu PTS di kawasan Lingkar Utara.

Nikah Siri merupakan realita yang menimbulkan pro dan kontra. Di tataran tertentu, erupakan solusi terbaik untuk tidak terjerumus perzinaan. Namun pada sisi lain, Pembenaran apapun tidak bisa diberlakukan untuk melegalkan nikah siri yang bertentangan dengan UU No 1 tahun 1974. “Mungkin sebelum adanya UU Perkawinan, praktek nikah siri banyak terjadi. Tapi setelah ada undang-undang itu, tidak lagi,” ungkap Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Bantul Drs H Abdul Majid MA.

Sebenarnya esensi perkawinan atau pernikahan itu dilakukan untuk mendapatkan ketenteraman, sesuai dengan kaidah ajaran agama. Menikah itu selain untuk mendapatkan keturunan juga agar dapat dijadikan penenteraman diri. Dan perkawinan yang sesuai aturan, baik secara pemerintah, dan sah secara agama adalah perkawinan yang melalui lembaga yaitu KUA.

Nikah siri memang masih kontroversi. Bahkan pernah mencuat rencana memidanakan pelakunya. Dalam merespons itu, wakil ketua Komnas Hak Asasi Manusia, Hesti Armiqulan pernah melontarkan keberatannya bila pelaku nikah siri dipidanakan.

Dilihat dari perspektif hak asasi manusia, sesungguhnya menikah adalah atas kehendak bebas dari calon mempelai laki-laki dan perempuan. Kewenangan pemerintah adalah mengatur, bagaimana pernikahan dicatatkan sah oleh negara.

Apalagi UU No.1 tahun 1974 menegaskan, perkawinan sah dilakukan jika menurut hukum agama. Maka tahap pertama, harus dilakukan menurut hukum agama. Itu pertimbangan yang diajukan oleh Hesti.

Jadi, kriminalisasi pelaku nikah siri dianggap berlebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar