Sabtu, 02 Juli 2011

Kisah Sukses Mantan TKI yang jadi Juragan Telur Puyuh

Banyak kisah TKI bernasib naas. Kalau pun tidak, TKI yang pulang kampung acapkali gagal memanfaatkan uang yang dikumpulkannya selama bekerja di luar negeri. Lalu, bingung mencari pekerjaan lagi dan selamanya hanya menjadi kuli. Padahal, menjadi kuli di negeri sendiri penghasilannya tak mungkin sama dengan di luar negeri.

Sementara itu, usia produktifnya dihabiskan di negeri rantu. Pulang sudah usia setengah tua. Sudah tak bisa punya daya tawar memilih pekerjaan. Lebih parah lagi, mantan TKI cenderung malas bekerja dengan gaji rendah. Sebab, sudah terbiasa dengan gaji besar di luar negeri.

Menyadari kemungkinan terjadinya hal buruk tersebut, mantan TKI yang merupakan pasangan suami istri, Sukisman dan Dewi, mencoba menyiapkan hari tua seawal mungkin. Keduanya sama-sama berusia 35 tahun, dan pernah menjadi Tki di Korea.

Pasangan suami istri yang mengaku saling bertemu di Jakarta itu kini sukses beternak telur puyuh. Keuntungan bersihnya mencapai Rp. 1 juta/pekan. Modal awal pun sudah kembali dalam waktu enam bulan.

Sukses itu tidak datang tanpa ujian. Tetapi diawali dengan kebangkitan total usahanya dalam beternak sapi. Akibat kebangkrutan besar itu, Dewi harus rela ditinggal pergi suaminya ke Korea. Mencari modal lagi untuk usaha.

Padahal, waktu itu Dewi yang asli Garut, Jawa Barat baru saja melahirkan anak pertamanya, Gerrad Meilano (5). Sedangkan putra keduanya, Aditya Al Majid yang kini berusia 11 bulan lahir hampir bersamaan dimulainya bisnis telur puyuh.

Dewi mengawali rumah tangganya dengan ketidakpastian sumber penghasilan. Namun, mereka kini sudah mapan. Memiliki toko pakan ternak bertingkat dua dan beternak puyuh petelur sebanyak 4 ribu ekor.

Penjualnya juga sudah ajeg. Ada pengepul dari Klaten yang setiap dua minggu sekali datang mengambil telur. Ini masih ditambah keuntungan besar bisnis burung kicau yang harganya mulai dua ratus ribu sampai jutaan rupiah.


Sukses Pasca Bangkrut

Dewi, asal Garut Jawa Barat. Berasal dari keluarga tidak mampu dan tinggal di desa. Seperti pada umumnya perempuan muda yang baru saja lulus SMA di tahun 1996, Dewi juga ingin segera bekerja. Pasalnya, sekolah di perguruan tinggi jelas tidak mungkin.

Ketiadaan biaya menjadi kendala. Alhasil, sejak tamat dari SMA, Dewi bertekad mencari pekerjaan sebisanya. Padahal, di Garut jarang ada pabrik besar. Karena itu, Dewi yang ingin mengubah nasibnya membulatkan tekad untuk merantau.

Pertama kali, bekerja di sebuah pabrik di Purwokerto. Tetapi, hanya bertahan selama dua tahun. Sesudah itu, pulang ke desa dan menganggur. Tak ingin hanya berpangku tangan, Dewi kembali bekerja. Tekadnya semakin bulat dan besar, sehingga dirinya memutuskan untuk bekerja ke luar negeri.

Setelah susah payah melamar melalui PJTKI, awal tahun 2003 bisa berangkat ke luar negeri dan bekerja di sebuah pabrik pembalut di Korea. Ketika hendak berangkat ke luar negeri itulah, dia bertemu dan berkenalan dengan Sukisman. Seorang TKI asal Selman yang juga hendak mengadu nasib di Korea.

Perkenalan itu berlanjut salama keduanya berada di negeri orang. Sehabis masa kontak kerja yang kedua, Dewi dan Sukisman pulang ke Indonesia. Waktu itu, tahun 2005. Setahun kemudian, 2006, mereka menikah, “waktu menikah itu, kami sama-sama masih menganggur,” ungkap Dewi.

Saking pusingnya tak kunjung mendapat pekerjaan, Sukisman nekad berangkat ke Korea lagi. Sedangkan Dewi tinggal di Garut bersama anak pertamanya yang waktu itu baru berusia dua minggu.

Tiga tahun lamanya Sukisman bekerja di Korea. Tahun 2009, Sukisman pulang dan keduanya sepakat membuka usaha di kampung halaman Sukisman di Pendowoharjo, Sleman. Dewi setuju.

“Tahun 2009 itu, kami sepakat beternak sapi. Tidak tanggung-tanggung, kami berdua membeli 10 ekor sapi. Tapi, semua itu gagal. Harga sapi terjun bebas dan kami rugi dua juta rupiah perekor. Itu belum termasuk kerugian tenaga dan pakan,” kenang Dwi.

Namun, kegagalan itu tak membuat mereka putus asa. Sebaliknya, terus memompa semangat suaminya untuk terus berushaa. Akhirnya melalui seorang teman, Dewi belajar beternak puyuh petelur.

Akhir tahun 2009, Dewi dan Sukisman bahu membahu membangun peternakan puyuh. Uang sisa penjualan sapi yang ruti, diinvestasikan lagi untuk beternak telur puyuh dan membuat warung pakan ternak kecil-kecilan.



“Tidak disangka, dari ternak puyuh sebanyak 4 ribu ekor, semua modal sudah kembali dalam waktu enam bulan. Omzetnya sangat tinggi,” kata Dewi.

Kini, Dewi semakin tekun memelihara telur puyuh. Sekalipun cukup sulit, hasilnya sepadan.

Memelihara puyuh petelur itu sulit, karena tergolong ternak sensitif. Mudah tertular penyakit dan stres. “Kalau mendengar suara keras yang mendadak, puyuh bisa stres. Tapi dengan kandang yang tertutup dan dibersihkan setiap hari, semua kendala itu tidak bermasalah,” jelas Dewi, seraya mengimbuhkan karena itu pula dirinya melarang orang lain untuk bisa mauk ke kandang. Selain keuntungan dari telur puyuh. Dewi juga masih memperoleh keuntungan lain dari penjualan kotoran puyuhnya. Dari 4 ribu ekor puyuh, dalam sehari menghasilkan kotoran sebanyak 3 ember. “Satu ember kotoran puyuh yang masih basah laku terjual sebesar seribu rupiah,” katanya.

Sedangkan dari puyuhnya sendiri, kadang juga masih bisa diperoleh sedikit keuntungan lagi. Setahun, sekali, puyuh yang sudah tidak produktif dijual seharga Rp. 2.500/ekor dan diganti puyuh usia 3 minggu. “Puyuh akan mulai bertelur pada usia 60 hari dan mencapai puncak produktivitasnya pada usia 10 bulan,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar